APBD 2026: TKD Turun Drastis! Kepala Daerah Wajib Kreatif!

RAPBN akan diketuk sebentar lagi. Dalam pidato nota keuangan, ada informasi bahwa terjadi pengalihan anggaran untuk program prioritas. Sehingga TKD (transfer ke Daerah) akan berkurang. apa yang bisa dilakukan oleh para kepala daerah? Baca usulan dari Direktur Polact Institute, Chusdarmawan Hidayat.

8/31/20254 min read

Hari-hari ini sampai Desember nanti, adalah masa-masa penuh tantangan bagi Kepala daerah dan jajarannya karena harus menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, APBD 2026. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, anggaran dari pusat yang disebut TKD atau Transfer Ke Daerah nilainya turun 29,34%, dari Rp 919,9 T menjadi hanya sebesar Rp 650 T. Bahkan masih di bawah TKD 2024 sebesar Rp 857,6 T. Besaran TKD 2026 juga hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan TKD tahun 2015 sebesar Rp 623,1 T. Bayangkan yang tadinya untuk belanja pegawai, belanja modal, pemeliharaan infrastruktur jalan, jembatan, irigasi, biaya operasional fasilitas umum (rumah sakit, puskesmas, sekolah dan berbagai fasum lainnya) selama 9-10 tahun selalu dirancang naik tiap tahun tiba-tiba harus diturunkan di tahun depan.

Tentu tidak setiap daerah memiliki tingkat masalah yang sama. Bagi beberapa daerah yang mempunyai Pendapatan Asli daerah atau PAD besar atau istilah teknisnya daerah-daerah yang memiliki Rasio Kapasitas Fiskal Daerah yang tinggi tidak akan terasa dampak pengurangan anggaran dari pemerintah pusat, tapi itu jumlahnya hanya 4,8% atau < 5% dari seluruh daerah di Indonesia yang jumlahnya 546 prov & kab/kota.

Daerah bisa saja mengambil jalan mudah dengan menaikkan besaran PBB P2. Langkah ini paling gampang untuk dilaksanakan; infrastrukturnya sudah berjalan tahunan, aparatur desa dan kelurahan tinggal dikerahkan, bahkan banyak daerah sudah mengadopsi sistem digital untuk pembayaran. Tinggal hitung nilai factual jual-beli properti saat ini, naikkan NJOP, lalu pakai formula perhitungan sesuai ketentuan dan diperoleh besaran PBB yang lebih tinggi. Tapi, ternyata masyarakat Pati, Bone dan Cirebon tidak membuat kenaikan PBB P2 itu semudah di atas kertas. Pati dan Bone memberikan pelajaran berharga pada daerah-daerah lain yang sudah berniat sama untuk berhati-hati dan bahkan mungkin mengurungkan diri dengan otak-atik kenaikan PBB.

Banyak daerah hari-hari ini dipenuhi dengan tantangan ---jika tidak mau disebut sebagai kendala dan hambatan. Di satu sisi akan terjadi pengurangan anggaran dari pusat padahal PAD belum siap menutupi pengeluaran yang bolong dari pengurangan itu. Di sisi lain, menaikkan pajak seperti PBB jelas akan memantik kejadian Pati dan Bone jika tidak dirancang sedemikian baik dengan menjalin komunikasi intensif sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya dengan rakyat.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Daerah?

Saya tidak sedang memberikan ceramah atau kiat-kiat dan motivasi. Saya yakin Kemendagri telah memberikan bimbingan, asistensi dan bahkan konsultansi gratis secara intensif kepada setiap pemerintah daerah sesuai dengan keluh-kesah daerahnya masing-masing. Begitu juga Bappenas dan Kementerian Keuangan pasti sedang membantu pemerintah daerah untuk tetap survive dan bahkan tumbuh di tengah situasi keterbatasan fiskal di masa depan.

Oleh karena itu ini hanya refleksi kritis saja.

Daerah tidak bisa lagi berpikir merencanakan dan mengeksekusi berbagai rencana dengan cara dan metode yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tinggalkan business as usual.

Efisiensi harus, tapi tidak mesti menggunting pengeluaran penting dan mendesak bagi warga daerah. Mencari sumber pendapatan baru daerah itu penting, tapi jangan sampai mengusik dompet warga terlalu dalam.

  1. Skala prioritas tidak bisa ditawar dan diotak-atik lagi, mana kebutuhan yang penting dan belum mendesak dan mana kebutuhan penting dan mendesak. Ukurannya adalah masyarakat, termasuk para PNS dan pegawai honorer di dalamnya. Masyarakat jelas tidak bisa menunda penyembuhan dari sakit, tidak bisa menunda kebutuhan pangan, tidak bisa menunda sekolah, tidak bisa menunda mobilitas, tidak bisa menunda pengairan, tidak bisa menunda tanam-pemeliharaan-panen, tidak bisa menunda jika rumahnya sebentar lagi ambruk, tidak bisa menunda memperoleh penghasilan. Sederhana. Yang tidak bisa ditunda oleh masyarakat untuk dipenuhi di tahun berikutnya, itulah yang didahulukan. Yang lain-lain bisa dihitung belakangan.

  2. Kalender perencanaan dan penganggaran jangan lagi dianggap sebagai siklus rutin tahunan di Bappeda dan dinas-dinas lainnya. Libatkan masyarakat tidak hanya untuk mengusulkan program dan kegiatan belanja dalam musyawarah dari tingkat desa/kelurahan s/d kabupaten/kota, tapi ajak masyarakat memahami beban belanja daerah. Secara terbuka pemerintah daerah bisa meminta masyarakat di segala tingkat untuk bersama-sama bekerjasama menyelesaikan problem anggaran. Dulu pernah sekitar tahun 2016/2017 seorang Kepala Daerah di Kab Batang menyelenggarakan festival anggaran, dimana masyarakat bisa melihat secara langsung anggaran daerahnya. Dengan demikian, masyarakat paham kemana setiap rupiah mengalir, yang pada akhirnya menciptakan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.

  3. Efisiensi beban. Terutama postur SDM pegawai daerah di tahun-tahun mendatang. Bayangkan 200 lebih pemerintah daerah memiliki belanja pegawai melebihi 30% dari total belanja dalam APBD. Maka, lakukan perencanaan SDM yang kredibel. Toh sudah ada pedoman dan panduan dari Kementerian PAN dan RB serta Kemendagri untuk menyusun perencanaan SDM secara baik. Tugas pemerintah memang job creation, tapi jangan juga diartikan hanya lapangan pekerjaan menjadi PNS an sich.

  4. Yang terakhir ini paling gampang diucapkan tapi seringkali sulit dilaksanakan. Kreativitas daerah. Daerah dituntut kreatif untuk mencari peluang-peluang pendapatan. Salah satu contoh seringkali luput diperhatikan adalah BUMD. Padahal BUMD dapat menjadi salah satu sumber pendapatan potensial daerah. Beberapa daerah yang sukses membangun BUMD sebagai sumber pendapatan dapat dijadikan success story untuk ditiru oleh pemerintah daerah lain.

BUMD umumnya masih menggantungkan diri kepada belanja pemerintah daerah. Maka, di tengah keterbatasan anggaran di tahun depan, cukup waktu bagi pemerintah daerah untuk membenahi BUMDnya. Tapi jangan juga dipukul rata, karena ada BUMD-BUMD yang memiliki karakteristik social obligation atau kewajiban sosial lebih besar. Misalnya PDAM yang mengoperasikan air bersih. Jangan tiba-tiba menaikkan tarif langganan untuk menaikkan pendapatan. Tetapi perluas jangkauan dan kemudahan pelayanan.

Soal persampahan daerah yang selama ini menjadi problem bisa dibenahi menjadi bisnis yang menjanjikan. Atau paling tidak mengurangi beban belanja daerah mengurus sampah. Kabupaten Banyumas bisa menjadi contoh dalam hal ini, dimana melalui salah satu BUMDnya mampu mengelola sampah agar memiliki nilai tambah bagi warga dan pemerintah daerah.

Sebagai catatan:

Meskipun pemerintah daerah mesti memutar otak untuk melakukan sejumlah langkah penyesuaian struktural atas berkurangnya anggaran transfer ke daerah tahun depan, tetapi beberapa fakta cukup menenangkan. Misalnya anggaran untuk berbagai program perlindungan sosial meningkat 8,6% dari tahun ini. Anggaran Kesehatan untuk sarana prasarana kesehatan dan layanan Kesehatan masyarakat juga meningkat dari Rp 210,6 T menjadi Rp 244 T di tahun 2026. Dana BOS juga naik dari Rp 59,2 T menjadi Rp 64,3 T. Penerima manfaat untuk Program PIP (Program Indonesia Pintar) naik dari 20,3 juta penerima menjadi 21,1 juta penerima. Dengan begitu, ada sebagian program yang penerima manfaatnya masyarakat daerah, hanya saja pelaksanaannya langsung dikelola oleh pemerintah pusat melalui Kementerian dan Lembaga terkait.