Kali ini, kita akan bahas sebuah topik yang mungkin udah sering kalian dengar di timeline atau berita akhir-akhir ini — isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Disclaimer dulu ya:
Kita tidak mau terjebak di drama atau gosip politik belaka. Kita coba ngulik dari dimensi yang lebih luas, konstitusi, ekonomi, sosial, dan dinamika politik. Topik ini penting...dan mungkin bakal menentukan arah demokrasi Indonesia kita ke depan.
Kenapa isu pemakzulan Wapres ini penting?
Pak Gibran bukan sekedar Wapres — dia juga putra dari Presiden ke-7 Bapak Joko Widodo, sosok utama yang mewarnai dinamika politik lebih dari 2 dasawarsa belakangan ini. Gibran sekaligus juga representasi dari generasi muda yang masuk ke ruang kekuasaan tinggi negara. Ketika muncul kabar DPR mungkin akan memakzulkannya, banyak yang bertanya:
"Memangnya bisa?" "Kalau iya, apa dampaknya?"
Jawaban pendeknya: Bisa, dan dampaknya? bisa sangat luas.
Nah sekarang mari kita bahas apa dampaknya. Kita bermain dari scenario optimis, moderat dan pesimis jika pemakzulan benar-benar terjadi.
Skenario 1 yang Optimis: Demokrasi Tumbuh Dewasa
Bayangkan kalau proses pemakzulan Wapres Gibran berjalan secara konstitusional, terbuka, tanpa tekanan dan manuver politik berlebihan. Mahkamah Konstitusi bekerja objektif dan imparsial, DPR gak melakukan manuver politik murahan, serta MPR mengambil keputusan dengan kepala dingin dan bijaksana.
Hasilnya?
Rakyat percaya sama hukum.
Investor luar melihat Indonesia makin stabil, karena hukum bisa tegak meskipun yang diperiksa adalah Wakil Presiden sekaligus anak mantan Presiden. Ekonomi bisa tetap jalan, bahkan mungkin tumbuh karena persepsi dan sentimen positif dari para pelaku bisnis. Demokrasi tumbuh dewasa.
Dan yang paling penting: publik belajar bahwa jabatan tinggi tidak lantas kebal hukum.
Skenario 2 yang Moderat: Politik Terbelah, Tapi Negara Tetap Jalan
Ini seperti campuran manis dan pahit. Proses pemakzulan jalan, tapi penuh pro dan kontra.
Media terbelah, politik saling serang, elite saling sindir. Gibran punya banyak simpatisan — jadi tensi ketegangan publik pasti naik. Tapi Lembaga-lembaga negara dan pemerintah tetap bekerja.
Dampaknya:
Ekonomi agak terguncang. IHSG dan rupiah mungkin turun sementara. Investor bersikap wait and see menunggu momentum stabilitas berjalan normal. Apalagi kalau ketidakpastian dirasakan masih terlalu panjang.
Politik domestik tegang. Presiden Prabowo mungkin harus ambil keputusan sulit: jaga soliditas koalisi atau jaga marwah konstitusi. Tapi selama semua pihak nahan ego dan kepentingan bangsa di atas segalanya, maka negara tetap bisa stabil. Meskipun butuh waktu untuk itu dan tak mudah.
Skenario 3 yang Pesimis: Terjadi Krisis Politik, Masyarakat Terbelah dan Ekonomi Terguncang
Nah ini nightmare-nya. Misalnya pemakzulan dianggap gak sah, atau malah dianggap bentuk balas dendam pribadi atau kelompok kepada Pak Jokowi. Terjadi mobilisasi massa. Opini publik rusak. Dan konflik elite tumpah ke jalanan.
Kalau itu terjadi:
Rupiah bisa melemah tajam. Investor lari, karena menimbang buka pabrik, buka kantor dan buka usaha tidak lagi memberi keuntungan. Polarisasi sosial makin tajam, bahkan mungkin bisa merembet yang berbau sektarian ataupun ideologis. Indonesia dicap negara gagal. Terjadi krisis kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri. Situasi ini mirip replay tahun 1998, tapi versi post-reformasi.
---
Jadi, Kita Harus Gimana?
Demokrasi bukan hanya soal siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Tapi soal kita semua, sebagai warga negara, bisa menjaga agar kekuasaan tetap punya batas karena tunduk pada konstitusi negara. Entah kamu pro atau kontra Mas Gibran, yang paling penting adalah: prosesnya adil, jujur, obyektif, transparan dan konstitusional. Dan yang gak kalah penting: kita sebagai warga negara jangan hanya jadi penonton, kita mesti belajar untuk melek hukum, kritis sama narasi media, dan jangan gampang diprovokasi.
Steven Pearlstein, kolumnis ekonomi senior The Washington Post yang juga telah memenangkan penghargaan Pulitzer pernah menyampaikan sesuatu yang penting: “Ekonomi yang tampak sehat bisa saja rusak dari dalam jika institusi politiknya disfungsional.” Artinya, jika proses politik—seperti misalnya pemakzulan—dijalankan tanpa transparansi, obyektif, jujur dan konstitusional, hanya jadi alat kekuasaan para elite, atau merusak norma demokrasi, maka bukan hanya pasar dan aktivitas ekonomi yang akan bereaksi negatif, tapi kepercayaan publik juga akan luntur, dan endingnya… Indonesia Emas 2045 terancam gagal.
Kalau anda punya pendapat soal skenario mana yang paling mungkin terjadi — atau bahkan kamu punya skenario versimu sendiri — silakan komen di kolom komentar.


